Angin segar menghidupkan suasana pagi, menyapa semua insan, mengajak bercengkerama dengan daun daun di pagi yang indah, mengingatkan kincir untuk berputar, memberikan semangat penjaga padi agar burung burung tak memangsa, memberikan nafas binatang binatang agar tetap kuat mencari makanan, memberikan nafas manusia agar jantung tetap berdetak, mendorong kapal agar nelayan nelayan mencari ikan di tengah lautan agar tetap berlayar demi mengidupi anak istri di rumah. Angin menerbangkan kupu kupu yang berwarna kuning menari riang dantara pepohonan. Burung burung bersiul riang. Entahlah, apa yang mereka bicarakan. Mereka harus mencari makan untuk anak anaknya yang menunggu dengan riang diatas pohon. Angin membawa kecerahan pagi ini. Begitulah kesejukan angin di kampung kami yang penuh kedamaian. Kampung yang jauh dari kebisingan deru mobil, suara suara sumbang tentang politik.
Anak anak sekitar pasar Keramat Jati senang menikmati suasana pasar, terutama hari pasar Wage yang bertepatan dengan hari Minggu. Mereka melihat dengan senang dokar dan kuda-kuda yang membawa pedagang dan penumpang pergi ke Keramat Jati. Suara ringkik kuda yang membawa pedagang dan pembeli yang beruang terdengar menggoda para pejalan kaki. Sapi sapi menarik pedati sambil membawa setumpuk beban diatas pedati. Para pedagang menawarkan dagangannya. Pembeli menawarnya dengan sabar. Ibu ibu menjual sayur, menjual perkakas rumah tangga dari sandal jepit sampai wajan atau panci goreng.
Tiba tiba datang petugas pasar yang tubuhnya banyak kutil mendatangi pedagang, meminta membayar pajak.
Dia berkata,” Pajek yu?
Pedagang sayur membayar dengan kesal sambil berkata,” Pagi pagi dagangan belum laku kok diminta bayar. Petugas pajak diam saja. “
Di tempat lain seorang penjual gambar dikerumuni anak anak. Di sebelahnya ada penjual jamu yang menjual jamu sambil memamerkan ular di pojok pasar,” Monggo jamune jamune, tangkur bajul. Penambah stamina pria, biar kuat.” Anak anak berlari lari mengerumuni menunggu atraksi sulap penjual jamu. Salah satu dari anak anak dekil adalah Ragil.
Tahun 1980 Ragil mulai masuk sekolah dasar di SDN Keramat Jati 2. Kamas adalah anak kampung dekil dan sederhana. Dia dan teman teman pergi ke sekolah hanya memakai sandal, tidak bersepatu, tidak pakai sabuk, tidak bawa tas, baju tidak di setrika. Mereka mandi tidak memakai sabun, hanya memakai batu yang digosok-gosokkan ke seluruh tubuh. Mereka pergi ke sekolah jalan kaki dengan teman teman, demi mencari ilmu.
Mereka tidak memiliki sepeda BMX. Sepeda yang mereka anggap hanya milik anak anak orang kaya. Mereka pergi ke sekolah tidak bawa uang jajan, yang penting sudah sarapan. Kadang kadang kakaknya menyetrika bajuknya yang merah putih, seragam hari Senin dan Selasa. Buku mereka hanya satu untuk semua pelajaran, buku yang selalu penuh gambar tokoh tokoh kartun favorit di televisi yang mereka lihat di rumah pak Dansek.
Di lingkungan tersebut hanya beberapa anak anak yang kelihatan parlente. Baju rapi distrika, memakai sepatu, sabuk, tas, dan berangkat diantar naik sepeda motor Yamaha 80 merah, atau naik sepeda BMX. Meski begitu mereka sudah sangat bangga.
Ragil terlahir dalam keluarga agamis. Bapaknya, Abdullah dan si Mboknya, Siti Aminah saat remaja mondok di pesantren tradisional. Si Mbok sekolah diniyah di pesantren lokal sedangkan bapak sekolah pondok di kota Mantirojo. Bekal Pendidikan pesantren itu memberikan inspirasi bagi mereka untuk mendidik anak anaknya dengan baik. Orang orang mengatakan Abdullah keras dalam mendidik. Tetangga sekitar banyak yang takut padanya. Mungkin karena dia veteran perang atau karena tatapan matanya yang sangat tajam. Membuat bulu kuduk berdiri.
Abdullah atau sering dipanggil mbah Dul tak segan-segan mengingatkan, menggertak bahkan memukul anaknya bila lalai untuk segera sholat lima waktu, ngaji di masjid tiap sore dan amanah dalam bersikap.
Berbeda dengan mbah Dul, mbah Siti, panggilan Siti Aminah adalah pribadi yang lembut dan penuh kasih sayang. Dia juga sering membetulkan cara membaca Al-Quran bila ada yang kurang pas. Mbah Siti sabar membangunkan Ragil untuk sholat subuh, membukakan pintu kalau pulang kemalaman.
Ragil yang manja sering tidur di pangkuannya, minta dipijat atau minta uang. Ragil tumbuh menjadi anak remaja. Pagi hari Ragil mengayuh sepeda jengki menuju kota. Memakai seragam abu-abu putih dia merasa seperti Lupus. Tokoh legendaris pelajar 90 an dengan rambut dikuncir, yang diperankan Ryan Hidayat. Bedanya Lupus main di film naik bis sedangkan Ragil naik sepeda pancal bersama teman teman sekampung Keramat Jati. Beberapa pelajar lain dengan bangga dan merasa gagah naik sepeda motor, meskipun numpang temannya.
Orang tuanya selalu menekankan agar dia naik sepeda pancal, mengingat keuangan untuk biaya beberapa kakak yang belum lulus kuliah di kota Talangan.
Pada malam hari setelah sholat isya Kamas terkadang ikut nimbrung ngobrol dengan teman teman di sekitar pasar Keramat Jati. Jaman dulu mereka adalah Geng pasar Keramat Jati. Rutinitasnya ya ngobrol kesana kemari membicarakan perempuan, jalan jalan ke tempat lain naik sepeda pancal. Sedikit saja yang memiliki sepeda motor.
Ragil dan anak-anak geng pasar Keramat Jati terbiasa menghabiskan malam di perempatan Keramat Jati. Sebagai eksistensi Geng Prapatan Keramat Jati Beberapa anak bahkan tidur di emper rumah sebelah pasar sampai pagi. Mereka tidur bukan karena teler tapi karena malas pulang.
Di tempat itu mereka menceritakan keluhannya kepada keheningan malam. Ragil berangkat ke pasar setelah maghrib dan ibunya selalu mengingatkan,” baca Al-Qur’an dulu, satu lembar atau dua lembar. Kalau sudah isya segera pulang, nggak usah pulang malam-malam, kalu bisa mbok jangan ke pasar”. Kamas membaca Al Qur’an satu lembar. Beberapa teman Kamas selalu mengingatkan untuk jamaah Isya meskipun mereka tetap di pasar Keramat Jati. Dengan malas dan tersipu sipu Ragil berjalan menuju masjid.
Tiba tiba seorang anak bilang,”Ada dangdut di lapangan. ayo nonton, ada Dullah Gowie, menyanyi Satu Jiwa, kita cari gratisan.” Ketika ada dangdut seperti ini, jiwa Kamas bergejolak, kebingungan, disatu sisi dia ingin ikut temannya lihat dangdutan, disatu sisi dia takut kepada ayahnya dan kakak-kakaknya. Teman- temannya terkenal anak anak nakal. Dia resah sepanjang hari. Biasanya anak-anak pasar Gandusari mabuk minum-minuman keras untuk menunjukkan jati dirinya.
Ragil anak yang supel, dia memiliki banyak teman. Selain anak anak pasar dia juga memiliki banyak teman yang tinggal di utara dan belakang rumah. Mereka masih mempunyai hubungan famili. Berbeda dengan anak anak pasar, mereka lebih penurut terhadap orang tua. Pada siang hari mereka mencari makanan ternak, menerbangkan layang layang, main sepak bola. Pada malam hari mereka belajar atau tidur. Ragil dan teman temannya sering tidur di masjid. Teman teman Ragil yang di belakang rumah memiliki sedikit karakter berbeda. Sebagian kadang tidak sholat.
Suatu malam Ragil pergi ke rumah Toni sekedar melepas kejenuhan. Ragl di rumah Toni mendengarkan musik. Tak berapa lama kemudian datang teman-teman yang lain. Beberapa saat saja berkumpul sekitar 4 orang dengan bermacam lintas usia. Ada yang sudah dewasa, ada yang pemuda, mahasiswa dan pelajar. Mereka rata rata adalah remaja dan pemuda masjid lor. Mereka asik bermain hingga larut malam. Tak terasa waktu menunjukkan jam 11 malam. Teman teman mengingatkan Ragil untuk segera pulang. Hamid berkata,” Ragil, cepat pulang, nanti dimarahi bapakmu lho,”. Ragil berkata,” Iya kang, nanti dulu. Aku tidur di sini saja.
Tak terasa sudah hampir jam 12 malam. Ragil tidak segera pulang. Tiba-tiba ayahnya, yang galaknya minta ampun menemukannya dan beberapa remaja masjid bermain kartu. Dia melihat mereka dengan tatapan tajam. Dengan tatapan itu tentu saja mereka takut dan tidak bisa berkata apa apa. Mereka terdiam, segera mencukupi kegiatan dan pulang ke rumah masing masing sambil menggerutu. Esoknya Ragil jadi gosip di masjid dan di tempat tempat lain.
Robby bersikeras,”Gara gara kau,aku dan teman teman dimarahi bapakmu, kau nggak usah ikut lagi. Di rumah saja.” Ragil terdiam seribu bahasa. Tatapan itu begitu menakutkan. Ayahnya memang berwatak keras dan tegas dalam hal agama. Watak itu disadarinya sendiri. Karena karakter itu dia tidak berani ceramah dimana mana, karena takut watak kerasnya lebih dulu dimunculkan. Ayahnya adalah salah satu takmir di masjid Lor. Dia menjadi imam dan khotib di masjid tersebut bergantian deengan takmir lainnya. Tidak ada seorangpun di lingkungan pasar Keramat Jati yang meragukan kealiman beliau.
Senja telah meredup. Bergegas dia belajar bahasa inggris. Mata pelajaran favorit. Dengan serius dia membaca buku bahasa inggris paket dari sekolahnya. Materi Simple Present Tense. Dia mempunyai keinginan kuat bisa berbahasa Inggris. Ia sadar ia tidak secerdas kakak kakaknya. Karena itu ia berusaha menguasai salah satu materi pelajaran agar bisa mempunyai kelebihan tersendiri. Ketika sekolah di MTS dia menjadi murid paling pinter Bhs Inggris. Pak Radit guru bahasa Inggrisnya di MTs sangat bangga padanya. Ragil selalu memiliki nilai diatas 85. Nilai yang sangat bagus pada jaman dulu ketika tidak ada batasan memberi nilai.
Ragil memasuki Madrasah Aliyah. Kelas satu ia kesulitan mempelajari bahasa Inggris. Memasuki kelas dua dan tiga Ragil menjadi sangat percaya diri menerima materi bahasa inggris. Teman-teman selalu berusaha minta contekan darinya. Terutama Sarimin, teman sebangkunya. Gurunya yang mengajar juga sangat senang mengajar Ragil.
Ragil sangat ingin jadi seniman, penyanyi rock, pelukis. Dia suka menyanyi meski suaranya seperti tong yang berjalan. Dia suka melukis apapun yang tiba tiba masuk dibenaknya. Diapun juga suka menulis kata hati, keluhan keluhan dan puisi. Puisi puisi bertema cinta. Seorang teman bahkan memanggilnya Pujangga Cinta. Guru yang melihat buku Ragil hanya bisa geleng-geleng kepala. “Hoalah Ragil”, gumamnya. Ragil berusaha melukis secara serius pada malam hari atau ketika tidak bisa tidur. Dia membeli kertas karton putih dan pensil 2B.
Ragil sangat terinspirasi dengan kakaknya, Nikmah. Kakaknya sangat pandai melukis. Dia bisa melukis apapun dengan sangat mirip. Suatu saat Ragil minta untuk digambar mbaknya. Mbaknya dengan sabar menggambarnya dengan sangat mirip. Dia juga bisa melukis dengan sarana apapun. Sedangkan dia hanya merasa bisa dan percaya diri dengan pensil saja. Pada waktu itu pensil yang bisa diupayakan hanya pensil 2 B. Tidak ada jenis pensil lain yang bisa dibeli di toko terdekat. Kota tempat tinggal Ragil hanya kota kecil. Tidak menyediakan berbagai jenis alat menggambar.
Dia percaya diri melukis hanya pada pertengahan hingga akhir malam. Ketika dia ungkapkan pada keluarganya bahwa dia ingin jadi seniman mereka cuma tertawa,”: mau apa kamu setelah jadi seniman.
Beberapa hari berjalan, beberapa pekan berlalu. Dia merindukan seseorang yang pernah menjadi teman sekelasnya. Dimatanya dia begitu cantik, baik dan menarik. Namanya Santi, remaja yang tinggal di kota Tulungagung. Kamas galau. Berhari hari hari dia memikirkannya. Dia sangat ingin bertemu dengannya dan mengungkapkan perasaannya, tapi dia takut, was was, minder dan kangen. Dia berkata dalam hati,” Sebentar lagi lulusan, aku harus bagaimana. Aku tiba tiba mencintai dia, tapi apa yang bisa diandalkan dari saya? Saya tidak memiliki keberanian untuk mendekatinya”.
Ragil teringat Donni Teman sekelasnya yang rumahnya di desa Kedungdowo. Dia ingin suatu saat mengajaknya pergi apel ke rumah Santi.
Mereka bertemu di kelas. Dia berkata,” Don, aku nanti Sabtu ke rumah kamu, malam minggu aku ke rumah Santi”. Santo menyimpali,” Memang kalau kamu ke rumah Santi dia pasti di rumah?,”. Ragil berdalih,” Gak urus, yang penting saya ke rumahnya, membuktikan tulus cintaku. Hahaha.” Orang gila,” gumam Donni.
Pada Sabtu siang setelah pulang sekolah Ragil menyusuri jalan jalan dari desa ke desa hingga berjam jam dengan sepeda kumbangnya. Tanpa putus asa dia mencari cari rumah Donni.
Malam hari kemudian dia mengajaknya menuju rumah Santi. Dengan sepeda kumbang mereka menembus desa ke desa di Talangagung. Mereka mengayuh sepeda sambil menyanyikan lagu Saleem Iklim, Penyanyi Malaysia era 90an.
“Aku adalah insan yang tak punya, kilauan emas permata. Lalu kucoba menaburu jiwa dengan rasa cinta membara. Pujangga mengatakan oh cinta berharga, dari emas dan permata”
Tiga kali Ragil pergi ke rumah Santi. Upayanya tidak ada kesimpulan. Dia tidak berani mengungkapkan perasaannya. Dia tidak siap diterima dan lebih tidak siap lagi bila ditolak.
Rumah Santi dekat kuburan hantu legendaris waktu itu. Hantu yang suka menemui para pengendara sepeda motor untuk dijerumuskan ke kuburan kuburan.
Menjelang akhir sekolah, Ragil lebih meningkatkan belajar. Pelajaran pelajaran sosial dan Bhs Inggris yang dia pelajari. Dia tidak tertarik materi materi seperti Matematika, Bahasa Indonesia dan sains, bukan karena tidak suka tapi karena merasa tidak mampu.
Ragil juga harus mengikuti program les di sekolah ketika sore hari. Ragil sadar dia tidak secerdas kakak kakaknya. Meski begitu Ragil mempunyai keinginan kuat. Ragil suka menyendiri, mencari imajinasi dan kadang hanya melamun. Ragil sangat ingin kuliah. Empat kakaknya sudah jadi sarjana. Dia membayangkan betapa kecewanya bila suatu saat dia tidak menjadi sarjana sedangkan kakak kakaknya menjadi sarjana.
Teman teman sekolahnya membawa brosur kampus kampus. Kampus IAIN Talangagung waktu itu belum membuka jurusan Bahsa Inggris.
Ayahnya mencoba bicara hati ke hati dengan anaknya.
Beliau berkata,” Nak, kakakmu baru lulus kuliah karena itu bapak ngggak kuat untuk membiayai kamu kuliah, biayanya besar, saya juga nggak akan mengijinkan kamu ikut mendaftar di UMPTN meski keinginan kamu kuat. Kamu harus meneruskan belajar IAIN jurusan Pendidikan Ilmu Agama. Ilmu agama sangat bermanfaat untuk menuntun jalan hidupmu kelak.”
Dia terdiam, beberapa waktu kemudian mengutarakan keinginannya,” Saya siap sekolah dimana saja asalkan jurusan bahasa inggris atau seni rupa, di PAI saya nggak kuat bahasa arab”. Bapaknya menjawab,” Apa yang akan kamu lakukan kelak kalu jadi seniman? Lebih baik kamu belajar bahasa inggris.
Seperti biasa dia diam. Beberapa waktu kemudian ayahnya yang bijaksana berujar,” ayah belum kuat membiayai kuliahmu, Kakakmu baru lulus kuliah. Keuangan sedang menipis. Untuk kuliah di UMM butuh biaya besar.
Ragil bersedih, tapi dia menerima kenyataan dengan berbesar hati dan optimis.
Beberapa bulan berlalu. Ragil telah lulus sekolah dengan nilai tertinggi Bhs Inggris dibandingkan teman teman sekelas. Kalau se angkatan dia masih kalah dengan Dewi anak Fisika. Ahhh, anak Fisika memang pinter,” gumamnya. Nilai pelajaran lain, matematika, bahasa indonesia biasa saja. Kelulusannya dia rayakan dengan naik bis ke kota Talangagung. Kebahagiaan ini adalah kebahagiaan ala pelajar 90-an yang terinspirasi dari Lupus. Lupus, makhluk manis dalam bis. Lupus dan teman teman menyusuri jalanan kota Talangagung. Sementara teman teman yang memiliki sepeda motor keliling kota dengan baju di cat. Tapi Lupus tidak minder, dia sangat menikmati semua itu. Beberapa teman Lupus, terutama anak anak Fisika dan Biologi mendaftar kuliah di Talangagung, Sendang, dan Talangan. Teman teman Lupus di kelasnya banyak yang tidak meneruskan kuliah. Rata rata mereka anak anak orang tidak mampu, dan anak anak dengan kemampuan pelajaran standar. Mereka tidak memiliki cita cita yang tinggi. Mereka berpikir sederhana bahwa suatu saat mereka juga menjadi orang yang biasa saja sesuai kemampuannya. Dia mencoba komunikasi dengan bapak dan simboknya bahwa dia ingin kuliah di jurusan bahasa inggris atau Seni Rupa dimana saja. Kalau perlu sekolah di perguruan tinggi negeri melalui jalur UMPTN.
Satu tahun berlalu. Ragil ingin mendaftarkan diri ke UMM. Bapak ibu Ragil ragu ragu mendaftarkan, meski begitu mereka tetap memberikan ijin karena Ragil sangat ingin kuliah. Orang tuanya memahami betapa besar biaya hidup kuliah di UMM. Mereka juga tahu dia tidak secerdas kakak-kakaknya. Mereka takut dia putus kuliah hanya karena tidak kuat di tengah perjalanan. Tetangganya yang kuat ekonominya berani kuliah disana. Ragil mencari cari informasi teman-teman yang ingin kuliah disana. Ternyata dia tidak sendiri. Beberapa teman yang seukuran ekonominya juga kuliah di UMM. Ragil pergi ke UMM bersama dengan tetangganya naik bis. Sampai di kampus dia sangat kagum dengan kampus itu. Kampus itu begitu megah dimatanya. “Terimakasih ya Allah. Kau berikan aku kesempatan mendaftarkan disini.” Gumamnya.
Ragil mengikuti ujian masuk dan kemudian dia diterima sebagai mahasiswa jurusan Bahasa Inggris angkatan 1995 UMM. “Terimakasih ya Allah, aku akan berjuag semampuku “syukurnya dalam hati.
No responses yet