Firman tak akan melupakan kejadian di kawasan ‘Letter S’ awal tahun ini. Hari itu Allah memberikan satu pelajaran berharga bagi Firman. Pelajaran tentang alur hidup oleh Sang Maha Sutradara yang terkadang sulit untuk dicerna oleh nalarnya yang sederhana.
Pagi itu cerah. Hujan menahan diri untuk turun. Mentari tidak lupa menunaikan tugasnya menyinari seluruh alam. Tawa anak-anak sekolah dasar depan rumah memecah kesunyian pagi. Beberapa burung gereja berterbangan mencari rejeki Allah demi anak-anak disarang. Angin berhembus perlahan menambah semangat bagi penduduk kampung Randu Alas mencari nafkah. Petani ke kebun, abang becak mengantar ibu ibu ke pasar, anak-anak ke sekolah.
Firman adalah seorang guru di pinggiran kota. Pagi itu Firman harus ke sekolah. Ada undangan rapat. Tidak biasanya, kali ini dia bersama anak istri menyusuri jalanan mendaki, menurun dan berliku-liku tajam dengan segudang cerita misteri. Jalan jalan yang sulit, karena harus naik turun gunung dan berliku-liku. Terkadang batu-batu sebesar kepala manusia hingga sebesar pos gardu longsor akibat hujan. Beberapa jalan malah berbelok sangat tajam dan curam terutama kawasan Letter S dan Rengkek-Rengkek.
Jalanan itu terasa berat bagi kebanyakan orang, tetapi tidak bagi Firman. Jalanan itu memberikan inspirasi keagungan Sang Pencipta. Dia memperkirakan rapat hanya sebentar. Karena itu keluarga kecil ini berangan-angan setelah rapat bisa menghabiskan waktu bercengkerama di pantai sambil menyantap ikan bakar.
Ketika setengah perjalanan berangkat ke Majene, Firman merasakan keanehan dengan rem sepeda motor matiknya. Berkali-kali tangannya menarik tuas rem kiri, sepeda motor tidak juga berhenti. Tangannya berkeringat dingin. Raut mukanya ketakutan tak karuan. Rupanya rem belakang blong. Untung saja di bebera tikungan, jalan berganti menanjak, sehingga sepeda motor bisa berhenti hanya dengan mengandalkan rem cakram depan. Lalu mereka sepakat untuk beristirahat, agar rem kembali normal.
Beberapa saat beristirahat mereka melanjutkan perjalanan. Sesampainya di jalanan landai, tak henti-hentinya mereka mengucapkan syukur.
Sampai di madrasah Firman mengikuti rapat sampai selesai. Sedangkan istri dan anaknya melihat hiruk-pikuk suasana pantai. “Nanti tak kabari buk kalau sudah selesai. Kita makan makan di warung biasanya.” Ujar Firman
Pukul 11 siang setelah rapat usai Firman, istri dan anaknya sepakat untuk pulang. Naik turun gunung dengan sepeda motor matik kebanggaan satu-satunya.
Setengah jam lebih perjalanan dan melalui jalur menurun Firman teringat dia seharusnya ke bengkel memperbaiki sepeda motor. Selama perjalanan mereka berkali-kali istirahat dan berdzikir untuk mendapatkan keselamatan dalam perjalanan. Mereka takut remnya ngeblong lagi. Sampai kawasan letter S hati Firman berdebar debar sangat kencang. Dia mengingat jalanan ini sering memakan banyak korban dari yang luka hingga yang meninggal dunia. Karena rem blong. Berkali-kali dia berpikir,” Seharusnya saya pergi sendiri. Ya Allah selamatkan kami. Baginya naik motor sendiri mungkin tidak menakutkan. Tapi sekarang saya bersama anak istri.”
“Ya Allah selamatkan kami “. Terdengar lirih doa itu terucap dibibirnya. Tiba di “Letter S” yang berkelok tajam dan curam terlihat seseorang yang sudah tua berhenti. Sepeda motornya roboh karena tidak kuat membawa beban.
Firman menghentikan sepedanya. Anak istri ditinggal dan berjalan kaki terengah-engah menyusuri jalanan mendaki menuju pengendara motor yang apes. Firman membantu menata beban orang tua itu sambil bertanya, ” Kenapa pak kok bisa jatuh begini?”. Dia menjawab, “Ini to mas, barang bawaanku kebanyakan”.
Tak lama sebuah pik up datang.
Dia memanggil sopir pikup. ” Mas, minta tolong bawakan barang barang beliau ke tempat yang lebih landai”.
“Nggih pak.” Jawabnya singkat.
Orang tua dan sopir pergi setelah berterima kasih. Firmanpun kembali pada anak istirnya di bawah. Sejenak kemudian memegang rem dan menstarter motor matik. Dia kaget setengah mati. “Ya Allah, ternyata rem saya motorku blong. Engkau mengirimkan orang tua yang jatuh tersebut agar aku berhenti. Agar aku terhindar dari jatuh karena rem saya blong”.
Firman minta istri dan anaknya naik pik up hingga Gamping Rejo, jalur yang landai. Sementara dia menunggu remnya normal kembali. Setelah rem normal kembali, Firman kembali menyusuri Letter S sembari mengingat-Nya. Sampai Gamping Rejo dia melihat anak istriku menungguku dengan setia. Merekapun berpelukan karena telah diselamatkan dari kecelakaan.
“Alhamdulillah yah. Aku berdebar debar.” Kata Ria, istri Firman.
Sampai di kampung Firman pergi ke bengkel untuk memperbaiki rem belakang sepeda motornya yang blong.
“Anda sangat sangat beruntung pak. Banyak banyak bersyukur tidak jatuh ke jurang. Kampas remnya habis”, Kata tukang servis.
Sambil menghela nafas berat dia menjawab singkat, “Iya pak”.
Penulis, Kamas Tontowi
No responses yet