Aku seorang guru di sebuah lembaga terletak 500 meter sebelum pesisir pantai selatan. Mungkin kalau ada Tsunami aku mungkin bisa mati duluan.
Waktu menunjukkan pukul 14.30. Aku yang di kantor menunggu check lock segera berjalan menuju tempat parkir untuk pulang ke rumah. Rumahku jauh karena itu aku merasa ingin segera pulang.
Sesaat akan melewati lobby sekolah, terlihat beberapa ABG bercengkrama di lobby tidak menggunakan baju seragam. Aku berpikir mereka alumni yang ingin legalisir fotocopy ijazah.
Tiba tiba ada yang memanggil namaku sambil melambaikan tangan. Seperti biasa aku tersenyum dan berjalan untuk segera pulang ke rumah. Sebelum pulang salah satu dari mereka mengambil gambarku dan tertawa kecil ala ABG. “Ahhh anak anak.” Gumamku dalam hati.
Sejenak aku berdiri di atas sepeda motor melihat ekspresi anak anak. Saya mengira mereka anak anak setingkat SLTA ternyata anak anak kelas delapan. Tiba tiba aku punya ide. Aku ingin mengenal mereka “Kirim ke nomor WA ku ya”. Pintaku. “Nggih pak”. Jawab mereka.
Keesokan harinya aku masuk ke sekolah seperti biasa. Tiba tiba seorang siswa memanggil namaku,”pak Ton”. Aku tersenyum dan berjalan seperti tak terjadi apa-apa. Esok harinya lagi aku ketemu dan dia memanggil namaku. “Pak Ton”. Ahhhh anak anak. “. Pikirku.
Aku memiliki satu kekurangan meskipun juga terkadang jadi kelebihan. Aku selalu ingin tahu. Mungkin bahasa gaulnya kepo. Kekurangan itu juga yang membawaku ingin tahu siapa dia sebenarnya. Aku mencari informasi tentang siapa anak yang sering memanggil namaku itu. Dari informasi guru ternyata dia salah satu anggota OSIM dari kelas non reguler.
Beberapa bulan kemudian siswa siswa harus mengikuti ujian. Sama seperti yang lain aku harus jadi pengawas. Anak itu ternyata di ruang yang kujaga. Beberapa meter sebelum aku masuk ke dalam ruang saya dengar suara mereka. “Pak Ton, pak Ton.” Aku cuek saja.
Saat aku berada di depan kelas ternyata anak yang sering memanggil namaku duduk tepat di depan mejaku. Dia malu-malu. Teman temannya satu ruangan tertawa sambil tertahan. Aku juga. Tapi sebagai guru aku bisa menahan diri.
Selang satu tahun berlalu. Aku mengawasi lagi kelasnya. Dia duduk tepat di depan mejaku lagi. Kali ini dia, Tiara, tidak canggung. Kelihatan berbeda. Lebih percaya diri. Terjadi sedikit dialog untuk mengisi kebekuan suasana ujian yang kaku.
Aku. : “Setelah lulus mau sekolah dimana?”
Tiara. : “Di Kediri pak”
Aku. : “Alhamdulillah”. Di SMA?”
Tiara. : “Ya pak”.
Aku. : “Mondok?”
Tiara : “Nggak pak”
Aku. : “Saudara berapa?”
Tiara. : “Satu pak”
Aku. : “Adik?”
Tiara. : “Kakak”
Mudah mudahan diberikan kelancaran dan keberkahan nduk. Doaku dalam hati.
(Kamas Tontowi)
No responses yet